Kamis, 03 Februari 2011

Ujian Nasional Dan Kondisi Psikis Siswa


Ujian Nasional, sepertinya masalah ini sudah basi atau tidak pentingkah? Karena saat ini kita tengah disibukkan oleh euforia Pilpres, dan sudah bisa dipastikan siapa pemenangnya. Tapi saat ini tidaklah saya ingin membahas masalah pilpres ini, bukan berarti tidak penting. Biar dan ijinkalah saya mengulas sedikit tentang dampak Ujian Nasional pada kondisi psikis anak atau siswa. Siapa peduli! Tapi biarlah karena ini hanyalah rasa empati saya yang begitu besar terhadap dunia pendidikan, sebab saya pernah menjadi seorang pendidik untuk beberapa tahun menangani langsung siswa yang akan menghadapi UN. Dulu namanya Ebtanas dan selalu berubah setiap era.

Dalam hal ini yaitu mengenai kondisi psikis anak ketika menghadapi Ujian, apakah kita sebagai orangtua atau guru membantu mereka mengelola emosi, agar bisa bersikap tenang dalam menghadapi pertempuran atau kekalutan bernama Ujian Nasional ini. Adakah kita para orangtua maupun guru menciptakan suasana yang kondusif agar mereka siswa tersebut bisa menyikapi atau mempersiapkan mental dengan baik agar semangat menghadapinya(UN)? Tanyalah pada diri kita sendiri sebagai orangtua atau guru. Jangan-jangan malah kita menciptakan suasana yang tegang, sehingga belum saja menjalani UN, siswanya sudah nervous, tertekan, khawatir, takut tidak lulus dan banyak ketakutan-ketakutan lainnya.

Otak dan pikiran mereka kita jejali dengan latihan-latihan soal, dalam pandangan mereka kita gambarkan bahwa meraih NEM atau nilai berdasarkan standart nasional berapa, (tanya saja pada mereka yang berkompeten), tertinggi adalah harga mati. Atau tinggal pilih mau lulus atau tidak, terserah yang penting kita bisa menjejali mereka bahasan-bahasan soal yang memusingkan kepala. Lagi-lagi siswa selalu jadi korban, mau protes apa ada yang menyikapi. Garis bawahi, jika siswa sudah duduk di kelas III, maka mereka akan dilatih untuk menjawab a,b,c dan d. Latihan soal ini dan soal itu, terkadang kurang di jam pelajaran, ditambah lagi dengan les, bahkan ada yang ikut bimbel. Waktu diisi hanya berpacu dengan soal dan soal, materi nomor kesekian, ilmu yang didapat siswa itu urusan nantilah. Jika siswa ada yang gagal maka mereka yang disalahkan, tapi kalau mereka dapat nilai bagus maka semua berbangga hati.

Bukan berarti UN itu tidak penting, namun disini yang harus diperhatikan adalah kesiapan kondisi psikis anak atau siswa itu harus diperhatikan. Tidaklah harus main-main menghadapi UN tersebut. Kita sebagai orangtua atau guru haruslah mengkondisikan mental anak dengan baik., dampingi mereka. Karena mempersiapkan mental yang baik dalam menghadapi ujian itu penting. Kita tidak mesti menuntut anak secara berlebihan agar mereka jadi juara dengan tekanan-tekanan secara lisan. Harus dapat NEM tinggi atau harus dapat rangking terbaik atau harus-harus yang lainnya lagi. Persiapan untuk belajar saja anak atau siswa tersebut sudah capek lahir batin, apalagi dengan tuntutan-tuntutan kita yang terlalu over. Seolah-olah NEM tinggi itu adalah segala-galanya. Cukuplah sudah kita membebani mereka dengan jadwal-jadwal padat dalam menghadapi ujian. Belum lagi ditambah peraturan-peraturan yang sudah terpusat dalam mengatur tentang UN ini. Jangan ditambah lagi dengan hal remeh temeh yang dapat berakibat fatal, hingga siswa benar-benar gagal menempuh UN, hanya karena kondisi mental yang jatuh.

Saya yakin kita, anda para orangtua dan pendidik yang berhubungan langsung dengan anak atau siswa dapat bersikap arif dan bijak menyikapi hal ini. Dan sebagai anak atau siswa, haruslah menghadapi ujian ini dengan penuh tanggungjawab, kesatria dan jujur. Marilah kita ciptakan suasana yang kondusif agar siswa dapat menghadapi dan menjalani ujian nasional ini dengan hati yang tenang dan senang. Mereka bahagia dan semangat menghadapi dan menjalaninya tanpa ada beban, dibarengi dengan doa dan usaha mereka yang maksimal, maka yakinlah kita akan melihat keberhasilan mereka. Tapi ingat ilmu atau materi itu penting ditransfer kepada siswa, tidak hanya mengutamakan latihan-latihan soal yang sifatnya temporal atau instan. Kasihan jika kita mencetak lulusan yang tak berilmu pengetahuan. Coba bayangkan “Andai Ujian Nasional, Seperti Sebuah Pesta,” maka siswa akan menyonsongnya dengan penuh kegembiraan, bahkan dengan semangat dan keriangan diwajah yang terus terpancar.

Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan


Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten.

Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.

Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”